Senin, 27 Agustus 2012

Bibit



Resiko saya sebagai anak ragil (terakhir-bungsu) adalah tidak dikenal oleh orang-orang tua di keluarga besar saya. Umumnya kakak saya sebagai anak pertamalah yang biasanya lebih diingat dan banyak berinteraksi dengan mereka. Umumnya juga, jika dalam obrolan, anak terakhir ini hanya ngikut obrolan yang tua-tua, menyimak dan mendengarkan. Kadang ada perasaan sungkan jika mau menyanggah atau ikut asik dalam obrolan, walau jika dipancing juga banyak sekali pendapat yang bisa diutarakan. Anak muda disini masih hati-hati, takut salah, dan biar ndak dikira sok keminter. Semacam itu. Baru, jika si anak terakhir ini sudah mulai matang dan dewasa, obrolan lebih nyambung dan kelihatan lebih berani dalam menyampaikan pendapat. Itu juga kalau dari pihak tetua belum terlalu tua untuk mendengarkan dan mengingat. Karena jarang berinteraksi itu juga, anak terakhir biasanya agak kesulitan jika diminta menceritakan silsilah keluarga besar. Setiap tahun saat lebaran, saya dijelaskan silsilah keluarga besar, dan setiap tahun itu juga saya bengong mendengar ceritanya. Lebaran ini, saya ingin mencaritahu sendiri, dan menuliskannya untuk mencari nasab saya dari ibu, secara spesifik lagi dari keluarga nenek dari ibu saya.
Kakek saya dari ibu bernama KH Cholil Abdurrahman. Kakek saya ini punya istri bernama nyai Nafisah, yang tercantum di silsilah foto diatas, paling bawah, anak terakhir dari 9 bersaudara, dan tinggal beliau yang masih hidup dari delapan saudaranya yang lain. Ayah nyai Nafisah bernama KH Siraj Mursyid (simbah buyut saya). Melihat nama kakek dan mbah buyut saja sudah membuat saya merasa kagum dengan beliau. Kakek saya masih merasakan haji dengan menggunakan kapal, persis seperti dalam film Ahmad Dahlan ‘sang pencerah’ yang dibintangi Lukman Sardi, perjalanan haji bisa sampai berbulan-bulan. Pamitannya saja bisa sangat mengharukan, diantar seisi kampung, seperti melepas kepergiannya tanpa tahu pasti kapan akan pulang. Sementara kyai sendiri lebih kepada penghormatan masyarakat kepada beliau yang dianggap alim, hampi semua yang dipanggil kyai sudah pernah merasakan haji yang berat itu. KH Siradj Mursyid ini anak keempat, juga dari 9 bersaudara. Ayah KH Siradj Mursyid bernama Chasan Tafsir. Kemarin saya sempat berziarah ke makam Chasan Tafsir di pekarangan Masjid Patok Negoro ‘Sulthoni” di plosokuning. Tentu saya bertanya-tanya, kenapa makam Chasan Tafsir bisa berada disana, dan dibuatkan bangunan juga di atas makamnya. Ternyata ayah dari Chasan Tafsir, KH Ngabdurahman (kyai Tanjung) adalah orang yang dipasrahi salah satu Masjid Pathok Negoro oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Dan Chasan Tafsir mengabdi untuk meneruskan amanah yang diberikan kepada ayahnya. Letak Makam Chasan Tafsir sendiri berada berdekatan dengan makam Kyai Tanjung. Masjid Pathok Negoro adalah masjid yang didirikan oleh kraton di keempat arah mata angin untuk menandakan daerah kekuasaan kraton di jaman dulu. Masjid Plosokuning ini berada di arah mata angin sebelah utara. Dari masjid-masjid pathok negoro yang lain, kabarnya hanya tinggal masjid di plosokuning ini yang menjaga keaslian arsitektur bangunannya. Masih terdapat pagar beteng yang membatasi halaman luar masjid, kolam yang mengitari area masjid, makam dan pohon sawo kecik di pekarangan masjid. Menurut cerita juga, filosofi kolam yang mengitari masjid menegaskan bahwa masjid adalah tempat yang bersih dan suci, sawo kecik mengajarkan untuk selalu tumindak becik (berlaku baik), dan makam di sekitar masjid agar mengingatkan kita kepada dekatnya kematian. Berziarah kuburlah supaya kamu ingat akan kematian. Itu kata hadits.
########
Mendengar cerita tentang Chasan Tafsir juga menarik buat saya. Chasan Tafsir semasa hidup bermukim di Krapyak Wedomartani Sleman. Beliau menyebar anak-anaknya ke berbagai daerah untuk tujuan dakwah. Dan hampir kesemuanya, pada zamannya, menjadi tokoh agama di daerahnya masing-masing. Anak bungsunya, Kyai Hasyim, ditempatkan di daerah macanan (arah timur condongcatur, jogja). Dari keturunan Kyai Hasyim ini juga, lahir orang bernama Komarudin, yang mengingatkan saya pada buku sejarah jaman SD. Dia adalah pejuang yang terkenal sangat gigih pada serangan umum 1 maret. Yang saya sebut chuck noris Indonesia karena pada satu scene di film sejarah ‘janur kuning’, dia digambarkan seperti ini; anak buahnya menganggapnya gila karena saat penyerangan belanda, semua tentara Indonesia tiarap, hanya si komarudin ini sendiri berdiri dan meneriakkan ‘a*uuu ba****aaaan’ sambil memberondongkan peluru di senapannya ke arah belanda. Paman gedhe (pakdhe) saya yang masih kerabat dekat komarudin juga bercerita kalo komarudin ini dikasih karomah, kelebihan dari Alloh, tidak mempan ditembaki Belanda. Tapi ketika ditanya ‘loh mar, kamu tadi kok ditembak gapapa?’, si komarudin hanya menjawab sambil guyon, ‘lhaya gapapa tho lhawong gakena kok’. sayang, dalam perjalanannya si komarudin ini tertangkap ikut andil dalam pendirian DI/TII.
Anak ketiga dari Chasan Tafsir bernama Kyai Zainuddin bermukim di daerah Jumeneng Sleman. Kyai Murtadho di daerah Muntilan Jawa Tengah. Kyai Muchtarom di Kauman, Jogja. Kyai Makful di daerah Suranatan, Jogja. Peninggalan mereka terlihat juga dari beberapa keturunannya yang masih menetap di daerah sana. Sejarah juga mencatat seorang bernama Kyai Muhdi, anak ke tujuh dari Chasan Tafsir, yang juga pejuang kemerdekaan seperti Komarudin. Menurut cerita, beliau juga diberi karomah tidak mempan ditembaki Belanda. Namun beliau merelakan dirinya dibunuh Belanda demi menyelamatkan umatnya, karena ancaman Belanda yang akan membakar daerahnya jika beliau tidak menyerahkan diri. Wallahu’alam, tapi namanya diabadikan sebagai nama jalan di daerah Condongcatur, Sleman. Dan makamnya berada di tempat asli Chasan Tafsir di Krapyak, Wedomartani Sleman. Keturunan kyai Muhdi yang bernama Munajah (mbah Najah) juga merupakan pemuka agama yang cukup disegani saat itu, sekaligus ahli spiritual yang sering disambangi pejabat dan pembesar kraton.
######
Sementara simbah buyut saya, anak keempat dari Chasan Tafsir, KH Siraj Mursyid mendapat daerah di Godean, Sleman. Kesembilan keturunan KH Siraj Mursyid juga disebar lagi ke beberapa daerah disana. Tidak mengherankan jika banyak sekali saudara saya dari trah (trah adalah bahasa Jawa untuk semacam dinasti jika di China) KH Siraj Mursyid ini. Trah KH Siraj Mursyid ini masih cukup kuat dalam silaturahimnya, terwadahi dalam ikatan keluarga Siraj (IKS) yang rutin mengadakan berbagai acara. Itu baru trah KH Siraj Mursyid, bayangkan sebanyak apa trah dari Bani Chasan Tafsir (ayah KH Siraj Mursyid).
Sebenarnya ada nama-nama lain di silsilah keluarga yang ceritanya menarik untuk dikupas. Misalnya Ki Juru Mertani yang terkadang muncul sebagai seorang yang cerdik dalam pementasan ketoprak. Dan cerita di atas saja baru silsilah dari nenek. Leluhur kakek saya dari ibu (KH Cholil Abdurrahman) juga tidak kalah panjang untuk diceritakan. Saya masih ingat terdapat jahitan inisial nama orang yang tidak asing di souvenir sajadah yang dibagikan pada trah Prawirosetiko (kakek dari KH Cholil Abdurrahman). Inisial HMS yang kemudian diartikan sebagai Haji Muhamad Soeharto, karena terdapat bintang lima diatas inisialnya.
Seperti itulah. Saya hanya berusaha mengamalkan akronim tersohor dari bung karno “Jas Merah, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah’, saya telusuri sejarah mulai dari sejarah leluhur saya, hingga saya ada sekarang ini. Bagi saya, cerita-cerita leluhur tersebut berarti saya sudah memiliki koleksi dongeng pengantar tidur bagi anak-anak saya kelak. Leluhur saya tidak akan berpengaruh banyak terhadap hidup saya, karena hanya sayalah yang paling tau bagaimana sebaiknya saya melakukan putaran hidup.  Tentunya, mereka menurunkan keyakinan dan teladan yang  harus saya cari tau lebih lanjut benar salah falsafahnya; bahwa saya seorang muslim, dan jawa.
KH Siraj Mursyid

2 komentar: