Dia, orang yang duduk besandar dengan kaki terlipat di
tepian balkon, bercerita kepada saya di suatu malam yang syahdu. Kalimatnya
membuat saya seperti bayangannya, terdiam seperti pernah mengalaminya.
Bulan meninggi, sedikit menunjukkan keangkuhan dengan
sinarnya yang benderang. Hari keenambelas bulan ramadhan seribu empat ratus
tiga puluh tiga. Cepat sekali rasanya. saya seperti belum berbuat apa-apa di bulan ini. Padahal
ketika teman saya bertanya,’bagaimana ramadhanmu?’. Saya dengan bergetar
berusaha meyakinkan, ‘ramadhan terbaik yang pernah saya jalani, insya Alloh’.
Atau paling tidak, saya sudah yakin ini lebih baik dari ramadhan taun lalu, Tujuh
hari tidak puasa, dengan sakit yang saya derita di ramadhan tahun lalu, saya
merasa sehat adalah nikmat yang sangat luar biasa. Ketika itu saya sedang
berada di rantau, dan masih kuat dalam ingatan, untuk berdiri dan berjalan
beberapa langkah saja, perut saya mual menolak apapun yang mengisinya. Atau
suatu malam menyiksa ketika saya merasa terpanggang dibakar tanpa api, saking panasnya
suhu badan saya. Saya beberapa kali cek darah, dokter yang memvonis sampai ragu
antara tipus atau demam berdarah, atau kombinasi keduanya. Untuk saya yang
tidak akrab dengan rumah sakit, saat-saat itu adalah saat yang berat. Saya
tidak berdaya, sangat tidak berdaya. Hingga orangtua nomor satu di dunia, datang
ke perantauan untuk merawat saya. dan katanya, maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang engkau dustakan? Kini saya dipertemukan lagi dengan ramadhan, saya
ingin menebusnya, tidak pernah saya sesemangat ini dalam menghadapinya.
Saya akrabi dingin pagi, malam tak berbunyi, dan siang-siang
yang terasa panjang. Sebelum ini, saya merasa ilmu agama saya sudah cukup
dengan kondisi dunia saat ini yang berantakan. Orang-orang dengan banyak
keluhan, lebih suka hedon tanpa aturan, pikiran skeptis saling mempersalahkan,
dan terlalu tingginya terbuai buaian harapan. Hingga saya sadar, selama ini
saya menjadi bagian dari mereka. Telinga saya yang terlalu banyak mendengarkan
keburukan dunia hingga panggilan suara adzan dan nasihat-nasihat agama menjadi kebal
tak mempan mengajak saya pada kebaikan. mata yang sudah samar dalam membedakan
mana yang salah dan benar. Indra-indra saya yang lain tidak bernasib lebih baik
dari telinga dan mata saya. Benar saja bukan? Jikalau disuruh pun,
pasti lebih mudah untuk menceritakan kemaksiatan, saking banyaknya, didapatnya
pun mudah, tinggal beli koran atau menghidupkan channel berita pagi. Atau malah
sulit? karena terlalu banyaknya yang dapat diceritakan? Atau karena hal-hal
tersebut sudah dianggap lumrah, hingga menjadi hal yang biasa saja. Masuk akal.
Ramadhan kali ini, saya merasa sangat kecil dan inferior.
Khatib-khatib sudah tidak lagi saya anggap pepesan kosong dengan omongan tak
berisi. Semakin
serius saya mendengarkan, dia membuat saya merasa semakin bodoh dan kotor. Shaf-shaf
yang rapat terisi. Subhanalloh, baru kali ini saya menyadari, harusnya masjid
bisa diisi dengan orang-orang yang lebih banyak dari ini. Beberapa orangtua
lansia bersama-sama anak-anak kecil antusias senang sekali belajar mengeja
kitab. Astaga, saya yang sudah bisa malah angin-anginan dalam membacanya.
Tujuh belas Ramadhan. Kata orang, ini hari turunnya
Al-Qur’an. Kata yang paling sering didengungkan hari ini mungkin adalah iqra’!
bacalah, belajarlah! Sebagian orang tampak berprosesi merayakannya, entah
bagaimana realisasi pengamalannya. Tentunya cukup ironis, negara saya adalah negara
dengan orang-orang yang paling banyak mengaku Al-Qur’an sebagai kitab pedoman
hidupnya, seharusnya tidak layak kondisi negara ini carut marut seperti ini.
Banyak yang bilang degradasi moral para pemudanya, ataupun teladan dari para
tetua yang rela berbulu domba demi pencitraan. Membuat saya
selalu merindukan orang-orang yang sederhana walaupun dia punya segalanya,
orang-orang yang mau mengingatkan saya walaupun saya tidak salah, orang-orang
yang menjauh dari kegelapan namun juga tidak tersilaukan oleh keberlimpahan
fana. Entahlah. Yang pasti kali ini saya
sangat kotor, sangat bodoh. Tapi sungguh, jika benar-benar ingin mencari, masih
banyak hal baik yang bisa saya temukan di negeri ini. Hanya kadang, indahnya senja tersamarkan gelap
yang datang di sisi lainnya. Terang permata harus kita temukan
diantara ayakan
air keruh dan kerikil batu kali. Pilihan selalu ada pada kita. Dan saya selalu
tertantang untuk menjadi lebih baik, hingga sepertinya saya akan lebih bodoh
jika menunda hingga esok hari untuk itu.
Ya Alloh, saya pesan satu tempat di surga, bagaimanapun
caranya.
![]() |
![]() | |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar