Selasa, 07 Agustus 2012

1433 H


Dia, orang yang duduk besandar dengan kaki terlipat di tepian balkon, bercerita kepada saya di suatu malam yang syahdu. Kalimatnya membuat saya seperti bayangannya, terdiam seperti pernah mengalaminya.
Bulan meninggi, sedikit menunjukkan keangkuhan dengan sinarnya yang benderang. Hari keenambelas bulan ramadhan seribu empat ratus tiga puluh tiga. Cepat sekali rasanya. saya seperti belum berbuat apa-apa di bulan ini. Padahal ketika teman saya bertanya,’bagaimana ramadhanmu?’. Saya dengan bergetar berusaha meyakinkan, ‘ramadhan terbaik yang pernah saya jalani, insya Alloh’. Atau paling tidak, saya sudah yakin ini lebih baik dari ramadhan taun lalu, Tujuh hari tidak puasa, dengan sakit yang saya derita di ramadhan tahun lalu, saya merasa sehat adalah nikmat yang sangat luar biasa. Ketika itu saya sedang berada di rantau, dan masih kuat dalam ingatan, untuk berdiri dan berjalan beberapa langkah saja, perut saya mual menolak apapun yang mengisinya. Atau suatu malam menyiksa ketika saya merasa terpanggang dibakar tanpa api, saking panasnya suhu badan saya. Saya beberapa kali cek darah, dokter yang memvonis sampai ragu antara tipus atau demam berdarah, atau kombinasi keduanya. Untuk saya yang tidak akrab dengan rumah sakit, saat-saat itu adalah saat yang berat. Saya tidak berdaya, sangat tidak berdaya. Hingga orangtua nomor satu di dunia, datang ke perantauan untuk merawat saya. dan katanya, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan? Kini saya dipertemukan lagi dengan ramadhan, saya ingin menebusnya, tidak pernah saya sesemangat ini dalam menghadapinya.
Saya akrabi dingin pagi, malam tak berbunyi, dan siang-siang yang terasa panjang. Sebelum ini, saya merasa ilmu agama saya sudah cukup dengan kondisi dunia saat ini yang berantakan. Orang-orang dengan banyak keluhan, lebih suka hedon tanpa aturan, pikiran skeptis saling mempersalahkan, dan terlalu tingginya terbuai buaian harapan. Hingga saya sadar, selama ini saya menjadi bagian dari mereka. Telinga saya yang terlalu banyak mendengarkan keburukan dunia hingga panggilan suara adzan dan nasihat-nasihat agama menjadi kebal tak mempan mengajak saya pada kebaikan. mata yang sudah samar dalam membedakan mana yang salah dan benar. Indra-indra saya yang lain tidak bernasib lebih baik dari telinga dan mata saya. Benar saja bukan? Jikalau disuruh pun, pasti lebih mudah untuk menceritakan kemaksiatan, saking banyaknya, didapatnya pun mudah, tinggal beli koran atau menghidupkan channel berita pagi. Atau malah sulit? karena terlalu banyaknya yang dapat diceritakan? Atau karena hal-hal tersebut sudah dianggap lumrah, hingga menjadi hal yang biasa saja. Masuk akal.
Ramadhan kali ini, saya merasa sangat kecil dan inferior. Khatib-khatib sudah tidak lagi saya anggap pepesan kosong dengan omongan tak berisi. Semakin serius saya mendengarkan, dia membuat saya merasa semakin bodoh dan kotor. Shaf-shaf yang rapat terisi. Subhanalloh, baru kali ini saya menyadari, harusnya masjid bisa diisi dengan orang-orang yang lebih banyak dari ini. Beberapa orangtua lansia bersama-sama anak-anak kecil antusias senang sekali belajar mengeja kitab. Astaga, saya yang sudah bisa malah angin-anginan dalam membacanya.
Tujuh belas Ramadhan. Kata orang, ini hari turunnya Al-Qur’an. Kata yang paling sering didengungkan hari ini mungkin adalah iqra’! bacalah, belajarlah! Sebagian orang tampak berprosesi merayakannya, entah bagaimana realisasi pengamalannya. Tentunya cukup ironis, negara saya adalah negara dengan orang-orang yang paling banyak mengaku Al-Qur’an sebagai kitab pedoman hidupnya, seharusnya tidak layak kondisi negara ini carut marut seperti ini. Banyak yang bilang degradasi moral para pemudanya, ataupun teladan dari para tetua yang rela berbulu domba demi pencitraan. Membuat saya selalu merindukan orang-orang yang sederhana walaupun dia punya segalanya, orang-orang yang mau mengingatkan saya walaupun saya tidak salah, orang-orang yang menjauh dari kegelapan namun juga tidak tersilaukan oleh keberlimpahan fana. Entahlah. Yang pasti kali ini saya sangat kotor, sangat bodoh. Tapi sungguh, jika benar-benar ingin mencari, masih banyak hal baik yang bisa saya temukan di negeri ini. Hanya kadang, indahnya senja tersamarkan gelap yang datang di sisi lainnya. Terang permata harus kita temukan diantara ayakan air keruh dan kerikil batu kali. Pilihan selalu ada pada kita. Dan saya selalu tertantang untuk menjadi lebih baik, hingga sepertinya saya akan lebih bodoh jika menunda hingga esok hari untuk itu.
Ya Alloh, saya pesan satu tempat di surga, bagaimanapun caranya.


photos from http://sumutdaily.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar