Minggu, 27 November 2011

Willy, si pengumpul batuan

Willy adalah nama teman baik saya. Willy mengambil kuliah jurusan geologi, yang sebenarnya adalah kemauan dan harapan orangtuanya. saya pernah bertanya kenapa hatinya ingin memilih sastra, jawabannya sangat datar, ‘cuman pengen belajar nerjemahin hidup’. Tapi ia tidak pernah menyesali apa yang telah dia pilih, ketika orang lain melakukan apa yang ia suka, willy selalu berusaha menyukai apa yang ia lakukan. Hingga willy bertemu dengan mata kuliah kristalografi-mineralogi, dan petrologi. Willy sangat menyukai dua matakuliah ini. Dari sana ia mengenal sahabat yang disebutnya paling baik baginya, batuan. willy menemukan sastra di dalam batu, solid dan khas, bahkan seniman pembuat patung atlas, mount liberty atau Abraham Lincoln tidak akan bisa membuat struktur bentukan sebuah batu, ujarnya. Willy mengenal nenek moyang batu, bernama magma. Kemudian keturunannya yang cukup banyak, mulai dari igneous hingga metamorp. Ia juga tidak pernah heran ketika nama belakang batu banyak yang menggunakan ‘it’, seperti rhiolit andesit granit pegmatite, willy menyebutnya marga. Mineral yang indah pengisi batuan seperti kuarsa biotite hingga olivine juga sangat ia kagumi.
Orang yang tidak tahu mungkin menganggap willy orang gila, willy menganggap batu sebagai teman yang hidup. Tiap pagi ia menggosok batu quartzite kesukaannya, yang ia dapatkan sepulang dari gunung semeru. Willy bilang, “quartzite itu pendengar yang baik, ga pernah protes atau ngeluh kalo aku pas cerita, mulai dari hal paling penting, sampe hal yang paling ga penting. Kadang manusia tidak lebih baik dari dia”
Dibalik kebiasaan anehnya kepada batu, willy adalah seorang sahabat yang sangat baik, sangat supel, murah senyum, dan tak heran jika willy memiliki teman yang sangat banyak. Willy selalu berusaha ada ketika teman-temannya membutuhkan. Teman perempuan willy pernah cerita kalo adiknya nangis ga berhenti-berhenti, dua jam kemudian willy sampai di rumah temannya dengan membawa permen lollipop. Atau ketika temannya kelelahan ketika sedang travelling backpacker keluar kota, willy merelakan badan kecilnya dibebani dua tas sekaligus.
Ohya, willy sering memberi batu kepada sahabatnya. Entahlah, Ia tidak berharap teman-temannya juga gila seperti dia, ia tidak berharap temannya memaknai pemberiannya, dia hanya memberi, saya pikir dia tidak perlu sebuah arti. Dia hanya bilang dengan senyum manisnya, dan hanya ini yang saya tau tentang keanehannya terhadap batu, ‘simpen aja, itu batu berharga buat aku, tolong jagain’

Hingga saya tanpa sengaja membuka tulisan willy di buku catatan usangnya.
Tahukah teman, saya hanya berharap kalian menjaga batu-batu itu. Kemudian saya ingin kalian suatu saat nanti mengembalikannya, taruhlah batu-batu itu dengan tangan kalian sendiri, di sekeliling nisan kayu dengan nama saya nantinya. Saya hanya ingin ditemani sejenak ketika air masuk ke celah celah tanah membasahi kafan di tubuh saya. Saya ingin terhela ketika bau bunga sudah tidak berbeda halnya dengan bau tikus dan cacing tanah. Saya ingin sedikit lega ketika ruang udara tak sebanyak tabung penyelamat nafas manusia. Saya ingin nisan saya dihiasi batu-batu dengan bekas sidik jari dan jabat erat tangan kalian"

 Saya termenung.

Suatu ketika, willy akan menjelma menjadi batu. Ia mendengarkan dari liang lahat tepat di bawah nisan kayunya, tersenyum tenang karena kedatangan sahabatnya yang ingin bercerita. Tak peduli seberapa penting dan berarti ceritanya, willy sangat senang mendengarkan ketika sahabatnya membutuhkan. 

26 november 2011, kamar kontrakkan, ditemani kilat petir dan suara guntur.





photos from http://pixdaus.com/?sort=tag&tag=rocks and http://www.deskpicture.com/DPs/Nature/RockWater_1.html