Rabu, 12 Februari 2014

Cerpen: Salman Dzarr (3)



Rumah keluarga besar Salman, yang dititipkan kepada keluarga Salman jauh dari kesan mewah. Rumah sederhana yang menjadi bangunan terpisah dalam satu kompleks Masjid. Bahkan bangunan rumahnya jauh lebih kecil dibandingkan bangunan Masjid. Kompleks Masjid itu sendiri berada di tepi jalan raya, di daerah yang tidak terlalu ramai, tidak bisa juga dibilang terlalu sepi. Dikelilingi sawah-sawah tertanam padi, perkampungan warga baru terletak di seberang jalan raya. Kecuali sedikit warga kampung yang rutin datang, Masjid itu lebih sering dikunjungi pendatang, musafir yang mampir menunaikan sholat dan sekedar ngaso beristirahat. Jika berjalan sedikit keluar kompleks, dapat ditemui taman kanan-kanak yang riuh ramai di pagi hari, lapangan bola berlatar belakang bukit dan gunung yang kadang digunakan pemuda sekitar di sore hari. Keluarga Salman berpindah ke tempat dimana batas alam bumi dan langit nampak jelas belum tertutupi gedung-gedung tinggi. Salman belum pernah merasa lebih kaya dari itu.
Selepas lulus perkuliahan, Salman menikmati masa-masa kepulangannya. Sebagai anak terakhir, meskipun tidak dapat lagi dibilang kekanakan, ia tidak lupa bagaimana caranya manja. Bercengkerama, bercanda dengan ibu dan ayahnya. Mengantar ibunya berbelanja ke pasar hingga mengunjungi nenek. Memijit ayahnya yang kelelahan, kadang mengumandangkan adzan dan menggantikan menjadi imam sholat jika ayahnya sedang pergi. Sudah jelas bagi Salman, kepulangannya adalah untuk berhijrah. Memberi nilai dari setiap apa yang dijalani. Mencari amal dari ilmu yang didalami, mengilmui amal yang dirutini. Salman menikmati lagi hal-hal yang tidak dirasakannya selama di rantau. Bukankah ia juga musafir yang perlu rehat, istirahat melihat jejak tapak yang telah dilalui, mengatur nafas mengusap keringat, menyiapkan bekal untuk menyambut perjalanan petualangan barunya.
Dan yang jelas, Salman bukanlah termasuk orang yang menutup diri terhadap pergaulan. Ia orang yang terbuka, terbiasa memilah sendiri mana yang baik dan kurang baik untuknya. Namun begitu, sebaiknya jangan bertanya soal cinta masa muda Salman. Ia cukup tahu soal konsep pacaran, tidak menjunjung tinggi ataupun menolaknya, tapi agaknya Salman cukup bisa menafsirkankan jika takdir tidak menghendakinya berlama-lama memadu kisah dengan konsep tersebut, selain hanya saat di sekolah dasar dan sebulan di tingkat tiga smp, nasib tidak memberinya jalan lapang untuk pacaran, entah malang entah menyelamatkan. Hal yang selalu terasa tidak mudah, menjaga diri dari fasa abu-abu, Salman tidak ingin menjadikan hal serius menjadi main-main, main-main di hal yang serius.

------------------------------------------------------------------------------


Telah Engkau hadirkan kepada hidupku wanita yang cerdas, baik pekerti, lembut dan santun perangainya. Maka tidak sanggup hati ini untuk tidak tertarik kepada dia yang sudah mempesona bahkan dengan tanpa menatapnya. Namun mudah saja untuk merasa jika hina dina diriku ini hanyalah akan mengurangi keberlebihannya, memburamkan keanggunannya. Dan hanya kepada Engkau sahaya memohon ridho untuk menjadi pantas untuknya. Hanya kepada Engkau, dan karena Engkau, sahaya menghadap untuk memperbaiki diri. Jikalau tidak menjadi kehendak-Mu untuk menggetarkan hatinya karenaku, paling tidak telah Engkau jadikan dia sebagai perantara bagi sahaya ini untuk semakin dekat dengan-Mu. Maka semoga rela pula jika ternyata Engkau pilihkan lelaki yang menaut hatinya, lelaki yang selayaknya bagi dia selain sahaya.

Dan teruntuk istriku yang kutunggu senyummu setiap pagi. Di saat menulis surat ini engkau masih dalam benakku. Mungkin juga saat ini  sudah ada kemantapan hati untuk condong memilihmu dibandingkan dia yang lain, aku mulai menyertakan namamu dalam doaku. Sungguh banyak ikan di laut menjadi tidak menarik karenamu. Hanya, maafkan aku jika akan terlambat datang kepadamu. Bukan, bukan ingin mengingkari amalan melengkapi separuh agama kita yang mulia. Bukan pula karena diri ini pengecut yang hanya mendamba tanpa berkata-kata, bukan. Kalaupun sudah terkendali urusan ini, dan tepat pula waktunya, besok sore pun aku bisa datang ke keluargamu. Melibatkanmu dalam kesusahan ini menjadi pertimbangan bagiku. Biar kuhadapi ujian ini dahulu, membaktikan diriku kepada kedua orangtuaku, mengembalikan senyum-seyum tenang mereka, lantas aku akan datang kepadamu. Melibatkanmu dalam kesusahanku kali ini, meski aku mengharapkannya, akan menambah tanggungan beban fikiranku. Aku tahu engkau sedang berjuang, akupun sedang berjuang. Kita tunggu bara ini mereda. Doakan, semoga dimudahkan dan memudahkan. Percayalah, beberapa tanjakan lagi, kaki ini sedang melangkah terjal menuju kepadamu. Dan kau tahu, bunga yang mekar akan selalu menjadi pengingat bagiku untuk memberikannya kepadamu..
------------------------------------------------------------------------------ 

Surat yang kemudian saya tahu, salah satunya teruntuk kepada saya. 
Yang diberikan satu setengah tahun kemudian dari tanggal penulisannya.

 

Senin, 03 Februari 2014

Cerpen: Salman Dzarr (2)


Salman sendiri tidak menutup mata akan apa yang menimpa keluarganya. Tidak serta merta pula Salman membenci dan mengutuki kakaknya. Jika ada talenta yang mulai dikuasai Salman, permasalahan itu membuatnya pandai bersyukur dan lihai menyembunyikan kesedihan. Satu-persatu mimpi-mimpinya yang telah digantung tinggi kemudian sedikit diturunkannya. Ia menunda keinginannya untuk melanjutkan studi pascasarjana, coretan ide-ide bisnisnya yang tentu mengundang resiko pun diletakkannya di rak paling dalam. Mimpi-mimpinya menjadi sedikit layu seperti daun–daun yang mulai menguning di ujung ranting, menunggu jatuh diterpa angin. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat itu, bagaimana caranya untuk dapat bertahan di perkuliahan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin melepaskan masa kuliahnya yang sudah setengah jalan. Salman menyederhanakan impiannya; bertahan di perkuliahan, mempersembahkan gelar sarjana, dan membuat orangtuanya kembali menikmati masa tuanya. Lantas keluarga menjadi salah satu alasan Salman untuk rela melakukan segalanya. Hidup serbaprihatin dan sederhana di rantau menjadi makanan rutin Salman. Pertempuran-pertempuran harus dihadapinya bak seorang pendekar sedang berjuang memperoleh ilmu untuk naik tingkat. Tanah rantau selalu menawarkan banyak hal, beserta hal-hal baru dan pengalaman baru. Kampung halaman yang dikenalinya menjadi godaan, mengajaknya menyerah pulang, menjalani ilusi kemudahan dan kenyamanan. Boleh jadi menjadi tuan di tanah sendiri, jangan harap lantas menjadi majikan di tanah orang. Ia pegang kalimat masyhur HAMKA, Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah untuk berjuang. Jikalau perahunya telah ia kayuh ke tengah, ia tak boleh bersurut pulang. Meskipun bagaimana besar gelombang, biarkan kemudia patah, biarlah layar robek. Itu lebih mulia baginya, daripada membalik halauan pulang. Salman sudah terlanjur keluar perang, maka pantang baginya untuk pulang dengan kepala tertunduk dan menyerah lemah. Salman berjuang, menerabas keputusasaan.

Dan kini, ketika gelar sarjana sudah dipersembahkan Salman kepada keluarganya. Ia sudah jauh lebih tenang ketika pulang. Hanya jika ada hal yang ia sesali, ia merasa sedikit terlambat menerjemahkan keadaan. Perkaranya tidak berhenti sekedar bertahan di perkuliahan dan mempersembahkan gelar. Meskipun keluarga Salman termasuk keluarga yang terbuka dalam berpendapat dan jauh dari kesan kaku, Salman tidak pernah menanyakan mengenai persis detail jumlah hutang dan musabab kebangkrutan bisnis kakaknya. Salman menghitung-hitung sendiri sisa jumlah hutang, dan dengan kesadaran tekadnya, Salman berniat membantu kakaknya dan mengembalikan senyum-senyum lepas orangtuanya. Satu lagi jalan terjal yang harus dihadapinya adalah menebus rumah lamanya yang diagunkan di Bank. Pun begitu, kakak Salman menyadari betul kesalahannya, kebangkrutan menjadi resiko mahal yang menjadi pengalaman berharga. Enggan mengaku kalah, kakak Salman perlahan bangkit menghidupkan bisnisnya kembali. Syukurlah, keuangan keluarga Salman sudah jauh lebih membaik. Selama melewati masa-masa sulit, ada saja jalan yang membuat keluarga Salman merasa tercukupkan. Salman menyadari, rasa syukur kadang memang lebih mahal untuk dibeli. Bukan soal seberapa banyak harta yang bisa dinikmati, tapi seberapa mampu jiwa ini merasa tercukupkan? Salman ingin menjadi kunci kebercukupan keluarganya. Ia ingin memiliki pekerjaan yang mapan dan sedikit jauh dari resiko spekulasi untung-rugi. Maka menemukan jalan yang tepat, kesusahan mendapatkan, dan penantian kepastiannya, menjadi perkara lain yang musti dihadapi Salman. Ia akan mencoba segalanya, berusaha sekuat tenaga, dan berpasrah diri kepada yang memiliki rencana dan sebaik-baik penolong baginya. Salman mulai menghidupkan kembali mesin mimpinya. 
Begitulah Salman. Jika hidup tidak diciptakan mudah baginya, ia hanya enggan untuk menyerah.

Cerpen: Salman Dzarr (1)


http://1hdwallpapers.com/rice_fields_wallpapers/page-9.html

Lantas saya mulai bercerita mengenai orang yang sangat dekat dalam hidup saya…
Salman Dzarr termenung. Tembok selasar masjid di samping rumahnya itu membuatnya nyaman untuk bersandar menatap kosong hamparan sawah yang terbentang di belakang rumah keduanya. Sekedar melamun mengalirkan pikiran ke sel-sel syaraf otaknya, berusaha menjaganya untuk tetap tersadar di tiap pagi permulaan hari. Setahun terakhir tidak cukup buruk untuk Salman, pun begitu tidak dapat dibilang terlalu bagus untuknya. Setengah tahun pertama dipenuhi dengan kebahagiaan Salman atas terselesaikannya studi sarjana di salah satu institut ternama di tanah rantau. Setengah tahun sisanya, Salman bertemu dengan realita. Memang, kehidupan Salman dalam 3 tahun terakhir tidak kunjung berhenti dibersamai dengan pergolakan. 2 tahun terakhir perkuliahan diselesaikannya dengan susah payah. Bermula ketika kiriman bulanan dari kampung halamannya, yang nominalnya pun paling kecil diantara teman-temannya, mulai sering terlambat datang. Biasanya uang bulanan Salman dikirim menjadi 2 termin tiap bulannya, setiap tanggal 1 dan 15, kemudian menjadi acak tidak menentu datangnya. Salman berusaha mencukupi uang hidupnya dengan menjadi pengajar privat, mencari beasiswa, dan asisten laboratorium. Lumayan jika hanya untuk menjaga perutnya tetap terisi 2 kali sehari. 
 Hingga ia tersadar di satu hari kepulangan ke kampung halamannya, ekonomi keluarganya telah jatuh. Poranda. Usaha saudara laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarganya mengalami kerugian. Meninggalkan hutang yang hingga kini tidak pernah terhitung oleh Salman. Orangtua Salman yang tidak pernah dilibatkan dalam bisnis kakaknya itu ikut pontang panting mencari penutup lubang, menggali kesana-kemari, ke relasi kerabat dan rekanan di kegiatan sosial agama mereka. Satu persatu yang dimiliki tidak lagi ditemui di rumahnya, mobil motor entah digadai entah dijual, Salman tidak pernah bertanya, Salman menerima. Dari keserba-adaan menjadi ketiadaan, dari keserba-punyaan menjadi kebercukupan. Debt collector berpenampilan preman beranting hingga penuh tattoo silih berganti mendatangi rumah Salman di kampung halamannya. Membuat kedua orangtuanya menjadi terbiasa menghadapi mereka, dengan kesabaran dan kelembutan, juga kejujuran mengenai kondisi ekonomi keluarga yang sedang limbung. Hingga kemudian setelah satu persatu dapat tertangani, sampai juga ke telinga orangtua Salman mengenai prasangka orang-orang; ‘tamu-tamu’ yang silih berganti untuk merayakan kebangkrutan bisnis milik kakak Salman tersebut adalah akibat dari ulah kakak Salman yang telah kalah judi, disertai bumbu-bumbu cibiran serta fitnah-fitnah lain yang memuakkan. Maka tidak perlu waktu lama untuk mengiyakan tawaran paman Salman untuk menempati rumah milik keluarga besar di suatu kompleks masjid. Dengan kepasrahan dan ketabahan, keluarga Salman berhijrah.