Sabtu, 19 Oktober 2013

Mendung


       Dengarkan aku, Mendung. Kali ini kau tidak boleh ingkar. Seringkali kau mengeruhkan matahari akhir-akhir ini. Bungaku sudah menunggu layu, bosan menerima siraman. Sudah saatnya kau kemudian menghidupkan hujan, memunculkan aroma petrichor yang sangat kami rindukan. Bungaku akan bergairah kembali dengan menghirupnya.
Hanya, bukan saja bungaku yang aku peduli. Kau tahu, Mendung, tentang malaikat yang suka terbang rendah, dengan kepakan sayap cerah mewah? Sudah lama aku tak melihatnya. Di beberapa kesempatan ia suka menghampiri bungaku. Hanya hinggap sebentar kemudian pergi, kadang membuat penasaran kapan lagi datang, terbang berputar berkejaran. Tahukah kau, Mendung, dulu ia hanyalah ulat buruk yang melubangi daun. Tapi ia memenuhi janjinya untuk berubah. Tidak semudah ketika engkau menjatuhkan hujan. Sempat ia bertapa, dihindari dunia. Diam menggantung, berharap itu melunturkan ingatan kenangannya. Kau harus tahu, mendung, kesunyian dan kesendirian tidak mematikannya. Hanya dengan sabar menunggu, ia kemudian berubah. Ia belajar banyak dari waktu, dan  masa lalu.
Memang, banyak orang yang tidak percaya ia telah berubah, Mendung. Bagaimana mungkin ulat yang terlihat menggelikan menjadi makhluk yang mengesankan. Tapi itulah, ia hadapi cibiran, ataupun pujian, dengan hanya terbang tidak menghiraukan. Mempesona.
       Aku tahu Mendung, sebidang ladang ataupun daun-daun kering di hutan bisa kau segarkan dengan menjadi hujan. Tapi aku hanya punya bunga untuk kau selamatkan. Oh, atau mungkin juga dengan sedikit lebih harapan untuk kita perhatikan; menyambut kupu-kupu itu datang menghampiri, suatu saat, setelah hujan pertama di bulan Oktober.