Sabtu, 28 Juli 2012

saya dan sepakbola


Tidak jelas kapan mulanya saya menyukai permainan sepakbola. Hal paling jauh yang saya ingat, ada masa dimana saya hanya tau dua nama tim bola bagus di luar Indonesia, Juventus dan Brasil, saya belum bisa membedakan mana klub bola dan mana timnas. Selanjutnya, saya masih ingat nama nama seperti taffarel, bebeto, dunga, romario, yang memenangi piala dunia 1994. Seorang zinedine zidane yang naik daun ketika mengubur impian Brazil di 1998. Atau  ketika fillipo inzaghi berseragam juventus dan simone inzaghi saudaranya berseragam Lazio. Saya sempat menjadi pendukung beberapa tim, tapi saya sepertinya tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang maniak. saya pernah memiliki jersey fiorentina dengan nama punggung nuno gomes, dan jersey aston villa yang bahkan saya tidak hafal betul nama-nama pemainnya. Saya pernah terpengaruh untuk menjadi pendukung Liverpool dan AC Milan. Mulai sejak akhir smp, saya membirukan diri untuk menjadi pendukung Chelsea. Ya tapi sekali lagi saya bukan maniak. Saya ikut bertepuk tangan ketika Manchester United mendapat treble winners, ikut terpesona hingga bosan melihat permainan Barcelona, juga ikut berkomentar ketika melihat permainan Indonesia yang angin-anginan. ohya, saat SD saya pernah memusuhi teman sekelas saya yang bernama fandi ahmad, karena pemain bola dengan nama yang sama membawa singapura mengalahkan Indonesia di piala tiger 1998. Sepele memang, tapi saya merasa cukup nasionalis saat itu. Haha.
Selain menikmati permainan tim-tim besar, sejak kecil saya juga sudah senang turun ke lapangan langsung untuk memainkan bola. Saat masa SD, jam istirahat hampir selalu digunakan untuk bermain bola di halaman sekolah. Tak jarang juga MI saya (SD dalam ‘bentuk’ lain) bertanding melawan SD tetangga sepulang sekolah, mungkin gengsi yang dipertaruhkan saat itu adalah ego untuk membuktikan sekolah saya yang ‘madrasah’ lebih baik dari sekolah lain yang ‘negeri’. Saya paling senang bermain di sayap, kanan ataupun kiri. Postur saya sangat kecil saat itu, membuat saya merasa ringan dan percaya diri untuk berlari kencang membawa bola. Gocek, jauhkan, lari lebih cepat dari pemain lawan. Sesederhana itu.
Saat SD juga, saya pertama kali memiliki keinginan untuk disekolahkan di sekolah sepak bola. Saya rewel minta dibelikan sepatu bola di Pasar Beringharjo Jogja. Dan ketika sampai di pasar, tidak ada sepatu yang muat dengan ukuran kaki saya yang masih kecil. Ibu saya bilang saya belum cukup umur untuk masuk sekolah sepak bola, akhirnya saya didaftarkan di klub bulutangkis, kata ibu saat itu, “biar fisikmu bagus lebih dulu, baru nanti masuk SSB ketika sudah cukup umur”. Saya baru tau kemudian, ibu takut saya bernasib sama seperti paman-paman saya, yang cedera berat gara-gara hobinya bermain bola, hingga tidak bisa melakukan aktivitas berat lagi. Aah. Saya tidak pernah menyesalinya.
Saya juga masih ingat ketika bermain bola bersama teman-teman sekitar kampung rumah saya, di lahan kosong dengan pohon kelapa dan pohon pohon besar muncul menjadi pemain kesekian kami, menjadi ‘pemain statis’ di tengah lapangan saat kami bermain bola. Dan ada saat-saat ketika bola jatuh di sungai yang mengalir di samping tempat kami bermain, kami harus buru-buru mengejarnya supaya tidak hanyut jauh, menyenangkan mengingat sungai saat itu masih jernih dan segar.  
Banyak cerita lain tentang kenangan saya dan sepakbola. Begitulah, saya menikmatinya sebagai kesenangan semata. Berlari-lari menggiring bola di sayap kiri atau kanan kemudian mengumpan di depan gawang, atau jatuh bangun menepis menangkap bola ketika menjaga gawang. Hingga sekarang, masa-masa malas bermain bola ketika saya menyadari jika saya sudah tidak secepat dulu, dan mata saya sudah tidak seawas dulu, saya tetap menikmati sepakbola dari tepi lapangan atau depan tivi. Dengan sepakbola, saya selalu menyadari satu hal, orang-orang bermain (atau menikmati bola) bukan hanya mengenai para pemain yang mengejar dan berebut bola, mimpi mereka. kadang mereka hanya berusaha memastikan bahwa bola-bola itu harus terus berputar dan mengalir, seperti hidup.

suatu sore yang lain, lapangan basket sma 1 jogja

Minggu, 22 Juli 2012

sekedar angkringan :)


Hari ini 22 juli 2012. Jadi sambil menunggu adzan isya, saya menyempatkan diri buat menyambangi angkringan depan gerbang parkir SR ITB, utara masjid salman. Karena baru pertama kali ke angkringan ini, basa basilah saya dengan menanyakan,’saking pundi mas, pun dangu teng riki, dsb’. Maklumlah, beberapa bulan terakhir angkringan semakin menjamur di Bandung. Sebagai orang jogja tulen, angkringan bagi saya tidak hanya sekedar menjadi tempat makan atau mampir minum isi perut. Tapi terkadang juga penuh dengan pertukaran nilai-nilai sosial. Jadi saya ya cukup bisa merasakan feelnya jika disuruh membedakan mana angkringan asli atau angkringan jadi-jadian. Yang saya tahu, angkringan pada mulanya adalah tempat rehat orang-orang pekerja keras, pekerja kasar. Tempat dimana mereka dapat sejenak melupakan beban hidupnya, bertukar cerita mengenai hari-hari mereka yang berat. Kemudian mahasiswa-mahasiswa juga kerap menyambangi angkringan sebagai tempat diskusi mereka, bertukar pendapat mengenai perkembangan bangsa, hingga curhat mengenai sangat berwarnanya masa kuliah mereka. Atau sebagai tempat ngaso pegawai kantoran yang bosan dengan kemonotonan suasana kantor. Ya seperti itulah, angkringan dapat menjadi tempat bertemunya kalangan-kalangan dari berbagai dimensi sosial, semacam tidak ada kasta dan kelas-kelas kesenjangan ekonomi disana.
Baik, jadi di angkringan depan SR saat itu saya terkagetkan dengan opini mas-mas, atau bapak-bapak, karena paras dan perawakan 30annya yang tanggung, mengenai asal muasal angkringan. Saya membanggakan diri saya dari jogja, sebagai awal mula janin angkringan muncul. Dan dia mengatakan sebagai orang klaten, yang tumbuh dan tinggal lama di jogja. Seperti yang saya dan kebanyakan orang lain ketahui, pelopor angkringan pertama kali adalah lik man, angkringan di utara stasiun tugu. Mas mas penjaga angkringan ini, sebut saja mas jenggot, bilang bahwa pak liknya sudah buka warung semacam angkringan di daerah UGM, jauh sebelum ada angkringan lik man. Angkringan lik man yang kondang di 90an disebutnya menjadi pelopor karena lokasinya yang strategis, di utara stasiun tugu. Sementara pak lik dari mas jenggot ini sudah buka angkringan di tahun 80an. Wallahualam, tapi dia mengatakan bahwa dia adalah generasi penjual angkringan, dan punya silsilah bagaimana angkringan ini berkembang di keluarganya. Saya tertarik dengan bahasan yang lainnya. Di Solo, ada tempat semacam angkringan, dikenal dengan sebutan ‘Hik’. Mas jenggot mengatakan bahwa ‘Hik’ sudah ada sebelum angkringan lahir. Hik sendiri memiliki variasi makanan yang lebih beragam dari angkringan. Saya sendiri pernah mencoba Hik Solo, dan suasananya tidak jauh berbeda dari angkringan. Kemudian di semarang, siapa sangka dulu angkringan bersifat nomaden. Saudara dari mas jenggot ini, katanya, adalah penjaja angkringan pikulan, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Saya membayangkannya, pikulan-pikulan dengan neraca kotak kotak tertutup tampah, sisi dari satu pikulan berisi aneka macam makanan angkringan, sisi lainnya aneka macam minuman hangat, dengan dingklik (tempat duduk kecil – jawa) yang digunakan alas bagi para pembeli, memutari pikulan dan penjaja sebagai  pusatnya. Melayani hingga sepi, berpindah dari tempat satu ke tempat lain. Wah, pasti akan ngangeni. Yang kemudian karena alasan fisik dan praktis, angkringan pikulan ini berubah jadi gerobak berjalan nomaden, hingga kini sudah berevolusi menjadi gerobak statis dengan dandanan yang khas, lampu teplok/sentir remang-remang dengan terpal yang menutupi gerobak, menjuntai hingga ke bawah. Evolusi angkringan yang bagi saya cukup masuk akal. 
Yah begitulah, kini angkringan tidak hanya menjadi tombo kangen bagi orang jogja, dia sudah merambah kemana-mana. Namun semoga nuansanya tetap terjaga sama. Nilai-nilai sosial, guyub tanpa kastanya, semoga tidak pudar dengan merambat naiknya harga-harga, tidak kalah dengan keinstanan restoran cepat saji. Karena di angkringan, semuanya menjadi satu dalam nasi kucing, menjadi senyuman dalam kopi hitam, dan pelepas dahaga dalam obrolan hangat ngalor ngidul  :)