Senin, 03 Februari 2014

Cerpen: Salman Dzarr (2)


Salman sendiri tidak menutup mata akan apa yang menimpa keluarganya. Tidak serta merta pula Salman membenci dan mengutuki kakaknya. Jika ada talenta yang mulai dikuasai Salman, permasalahan itu membuatnya pandai bersyukur dan lihai menyembunyikan kesedihan. Satu-persatu mimpi-mimpinya yang telah digantung tinggi kemudian sedikit diturunkannya. Ia menunda keinginannya untuk melanjutkan studi pascasarjana, coretan ide-ide bisnisnya yang tentu mengundang resiko pun diletakkannya di rak paling dalam. Mimpi-mimpinya menjadi sedikit layu seperti daun–daun yang mulai menguning di ujung ranting, menunggu jatuh diterpa angin. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat itu, bagaimana caranya untuk dapat bertahan di perkuliahan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin melepaskan masa kuliahnya yang sudah setengah jalan. Salman menyederhanakan impiannya; bertahan di perkuliahan, mempersembahkan gelar sarjana, dan membuat orangtuanya kembali menikmati masa tuanya. Lantas keluarga menjadi salah satu alasan Salman untuk rela melakukan segalanya. Hidup serbaprihatin dan sederhana di rantau menjadi makanan rutin Salman. Pertempuran-pertempuran harus dihadapinya bak seorang pendekar sedang berjuang memperoleh ilmu untuk naik tingkat. Tanah rantau selalu menawarkan banyak hal, beserta hal-hal baru dan pengalaman baru. Kampung halaman yang dikenalinya menjadi godaan, mengajaknya menyerah pulang, menjalani ilusi kemudahan dan kenyamanan. Boleh jadi menjadi tuan di tanah sendiri, jangan harap lantas menjadi majikan di tanah orang. Ia pegang kalimat masyhur HAMKA, Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah untuk berjuang. Jikalau perahunya telah ia kayuh ke tengah, ia tak boleh bersurut pulang. Meskipun bagaimana besar gelombang, biarkan kemudia patah, biarlah layar robek. Itu lebih mulia baginya, daripada membalik halauan pulang. Salman sudah terlanjur keluar perang, maka pantang baginya untuk pulang dengan kepala tertunduk dan menyerah lemah. Salman berjuang, menerabas keputusasaan.

Dan kini, ketika gelar sarjana sudah dipersembahkan Salman kepada keluarganya. Ia sudah jauh lebih tenang ketika pulang. Hanya jika ada hal yang ia sesali, ia merasa sedikit terlambat menerjemahkan keadaan. Perkaranya tidak berhenti sekedar bertahan di perkuliahan dan mempersembahkan gelar. Meskipun keluarga Salman termasuk keluarga yang terbuka dalam berpendapat dan jauh dari kesan kaku, Salman tidak pernah menanyakan mengenai persis detail jumlah hutang dan musabab kebangkrutan bisnis kakaknya. Salman menghitung-hitung sendiri sisa jumlah hutang, dan dengan kesadaran tekadnya, Salman berniat membantu kakaknya dan mengembalikan senyum-senyum lepas orangtuanya. Satu lagi jalan terjal yang harus dihadapinya adalah menebus rumah lamanya yang diagunkan di Bank. Pun begitu, kakak Salman menyadari betul kesalahannya, kebangkrutan menjadi resiko mahal yang menjadi pengalaman berharga. Enggan mengaku kalah, kakak Salman perlahan bangkit menghidupkan bisnisnya kembali. Syukurlah, keuangan keluarga Salman sudah jauh lebih membaik. Selama melewati masa-masa sulit, ada saja jalan yang membuat keluarga Salman merasa tercukupkan. Salman menyadari, rasa syukur kadang memang lebih mahal untuk dibeli. Bukan soal seberapa banyak harta yang bisa dinikmati, tapi seberapa mampu jiwa ini merasa tercukupkan? Salman ingin menjadi kunci kebercukupan keluarganya. Ia ingin memiliki pekerjaan yang mapan dan sedikit jauh dari resiko spekulasi untung-rugi. Maka menemukan jalan yang tepat, kesusahan mendapatkan, dan penantian kepastiannya, menjadi perkara lain yang musti dihadapi Salman. Ia akan mencoba segalanya, berusaha sekuat tenaga, dan berpasrah diri kepada yang memiliki rencana dan sebaik-baik penolong baginya. Salman mulai menghidupkan kembali mesin mimpinya. 
Begitulah Salman. Jika hidup tidak diciptakan mudah baginya, ia hanya enggan untuk menyerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar