Senin, 03 Februari 2014

Cerpen: Salman Dzarr (1)


http://1hdwallpapers.com/rice_fields_wallpapers/page-9.html

Lantas saya mulai bercerita mengenai orang yang sangat dekat dalam hidup saya…
Salman Dzarr termenung. Tembok selasar masjid di samping rumahnya itu membuatnya nyaman untuk bersandar menatap kosong hamparan sawah yang terbentang di belakang rumah keduanya. Sekedar melamun mengalirkan pikiran ke sel-sel syaraf otaknya, berusaha menjaganya untuk tetap tersadar di tiap pagi permulaan hari. Setahun terakhir tidak cukup buruk untuk Salman, pun begitu tidak dapat dibilang terlalu bagus untuknya. Setengah tahun pertama dipenuhi dengan kebahagiaan Salman atas terselesaikannya studi sarjana di salah satu institut ternama di tanah rantau. Setengah tahun sisanya, Salman bertemu dengan realita. Memang, kehidupan Salman dalam 3 tahun terakhir tidak kunjung berhenti dibersamai dengan pergolakan. 2 tahun terakhir perkuliahan diselesaikannya dengan susah payah. Bermula ketika kiriman bulanan dari kampung halamannya, yang nominalnya pun paling kecil diantara teman-temannya, mulai sering terlambat datang. Biasanya uang bulanan Salman dikirim menjadi 2 termin tiap bulannya, setiap tanggal 1 dan 15, kemudian menjadi acak tidak menentu datangnya. Salman berusaha mencukupi uang hidupnya dengan menjadi pengajar privat, mencari beasiswa, dan asisten laboratorium. Lumayan jika hanya untuk menjaga perutnya tetap terisi 2 kali sehari. 
 Hingga ia tersadar di satu hari kepulangan ke kampung halamannya, ekonomi keluarganya telah jatuh. Poranda. Usaha saudara laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarganya mengalami kerugian. Meninggalkan hutang yang hingga kini tidak pernah terhitung oleh Salman. Orangtua Salman yang tidak pernah dilibatkan dalam bisnis kakaknya itu ikut pontang panting mencari penutup lubang, menggali kesana-kemari, ke relasi kerabat dan rekanan di kegiatan sosial agama mereka. Satu persatu yang dimiliki tidak lagi ditemui di rumahnya, mobil motor entah digadai entah dijual, Salman tidak pernah bertanya, Salman menerima. Dari keserba-adaan menjadi ketiadaan, dari keserba-punyaan menjadi kebercukupan. Debt collector berpenampilan preman beranting hingga penuh tattoo silih berganti mendatangi rumah Salman di kampung halamannya. Membuat kedua orangtuanya menjadi terbiasa menghadapi mereka, dengan kesabaran dan kelembutan, juga kejujuran mengenai kondisi ekonomi keluarga yang sedang limbung. Hingga kemudian setelah satu persatu dapat tertangani, sampai juga ke telinga orangtua Salman mengenai prasangka orang-orang; ‘tamu-tamu’ yang silih berganti untuk merayakan kebangkrutan bisnis milik kakak Salman tersebut adalah akibat dari ulah kakak Salman yang telah kalah judi, disertai bumbu-bumbu cibiran serta fitnah-fitnah lain yang memuakkan. Maka tidak perlu waktu lama untuk mengiyakan tawaran paman Salman untuk menempati rumah milik keluarga besar di suatu kompleks masjid. Dengan kepasrahan dan ketabahan, keluarga Salman berhijrah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar