Sabtu, 28 September 2013

Tergantung sudut pandang.

          Saya terdiam di kursi kereta. Memandangi tiket yang saya pegang. Memastikan duduk di nomor kursi yang tepat. Kemudian melenguh dan bersandar. Kursi kali ini cukup empuk dibanding dudukanku di kereta sebelum - sebelumnya. Memang dengan sengaja saya membeli tiket kelas kereta di atas biasanya. Bukan untuk gaya-gaya. Saya hanya ingin menikmati perjalanan ini. Perjalanan kembali
Baik. Sedikit penjelasan mengenai ‘kembali’. Kereta ini akan membawa saya pergi dari Bandung, kembali ke Jogja. Yang membuat tidak sederhana, saya belum tau pasti kapan akan kembali ke Bandung. Tunas masalahnya hanya sepele saja. Misal, setelah empat tahunan menghabiskan sebagian besar waktu di Bandung, kontrakan habis, dan terusir. Pemilik kontrakan menjadi tokoh antagonis yang memaksa saya minggat. Dikala saya merasa Bandung sudah menyamankan, saya pergi dengan perasaan tidak nyaman.
Setiap kepergian identik dengan perpisahan, bukan? Ada yang kembali lagi, sebagian tidak. Ada yang sebentar, ada yang selamanya. Biasanya menggalaukan, tapi tidak jarang juga melegakan. Tapi saya pastikan, yang namanya perpisahan akan memenuhi janjinya, hanya persoal waktu.
Malam di tengah pekan. Kereta tidak terlalu ramai dan kursi sebelahku kosong. Sempurna pikirku. Saya sedang tidak ingin menyapa dan beramah tamah. Rencana saya, cukup nanti kondektur menginterupsi dan saya bisa menikmati kereta ini. Sendiri.
Berbicara mengenai kereta, tetiba saja muncul ingatan pelajaran di masa sekolah. Dan tetiba saja untuk kali pertama ini saya benci dengan Einstein. Atau hanya guru fisika saya saja, yang selalu menggunakan kereta ketika pertamakali mengenalkan konsep relativitas. Pengamat pertama pengamat kedua. Penjelasan mengenai penghitungan kecepatan yang bergantung dari siapa mengamati apa atau siapa. Untung saja Einstein memberikan jawaban dengan angka-angka. Yang penjelasannya kira-kira,’dalam kasus itu tidak ada benar atau salah; semuanya bisa berarti benar, atau salah; tergantung dari pihak mana kamu mengamatinya’. Dampaknya di masa kini bagi saya sudah cukup membingungkan. Relativitas sudah menjelma menjadi kata yang digunakan sebagai penyamaran kebenaran. Tidak ada hitungan eksak untuk menjelaskan kebenaran. Lihatlah, segalanya dapat direlatifkan. Kontroversi kontes kecantikan, pro-kontra pakai sepeda atau kendaraan mesin. Mau merelatifkan Tuhan yang sama pun sekarang bisa saja. Benar salah sudah menjadi ego dalam pikiran masing-masing. Tergantung sudut pandang siapa yang mengamati, katanya. Memang betul, amatilah, bahkan hobi baru manusia adalah membuat kontroversi dengan sensasi ego pribadi. 

Ego kadang menjadi lucu. Menjadi buta arogan dengan merasa paling benar. Padahal, pada saat tertentu, ketika kamu sedang asik mengamati dan menghakimi, kamu sedang diamati dan dihakimi. Pada saat kamu berpikir menjadi subjek yang berkuasa, kamu sekaligus sedang memerankan tokoh objek yang dinilai. 

Tentang amat-mengamati, buku Supernova pertama (Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh) dari Dee Lestari juga berkisah mirip. Kisah tentang dua orang jenius, Dimas dan Reuben, yang ingin membuat novel drama romantis berdasar kejeniusan dan luasnya wawasan ilmu sains yang dimiliki, dibumbui dengan adu argumen antar mereka berdua yang mendalam. Mereka menulis tentang kisah cinta seorang ksatria, bernama Ferre, yang berkisah kasih kepada seorang putri, Rana; Rana yang dengan kejujuran hati menyambut cinta Ferre. Ironisnya, Rana sudah dalam ikatan pernikahan dengan Arwin. Ferre, Rana, dan Arwin digambarkan sama-sama meminta nasihat kepada seorang bijak yang hanya bisa ditemui di dunia maya, Supernova. Siapa sangka kisah yang ditulis Dimas dan Reuben itu ternyata benar-benar ada dalam kehidupan mereka. Dua orang jenius menemukan cerita yang sudah ada. Supernova yang benar-benar ada. Tokoh imaji yang dibuat Dimas dan Reuben yang ternyata dapat mereka sapa. Bahkan, Ferre bertemu tatap muka dengan sosok misterius penjawab setiap pertanyaan dan keluh kesah masalah, dengan nama Diva di dunia nyata, model dengan intelegensi di atas rata-rata yang secara profesional menjadikan raga luarnya sebagai dagangan.
Sebagai pembaca, saya agak lama terkesima di beberapa halaman, berusaha mengurai novel yang ingin menyampaikan makna-makna seputar hidup, dengan membuat pembacanya berpikir. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan, lantas adakah yang mengamati saya ketika saya yakin benar bahwa saya tidak dapat diamati? adakah yang sedang menulis cerita tentang saya sekarang? Atau saya hanya sedang melakukan apa yang telah dituliskan; sampai dimana saya? sudah mendekati akhir halaman bukukah? 

Oh bumi, saya akan malu kepada Penulis yang memunculkan saya sebagai tokoh, jika cerita saya tidak menarik.

Dan setiap diri kita sejatinya adalah pengelana. Menyusuri waktu. Jejak kita di setapak waktu yang lalu akan selalu beradu, berkejaran dengan tuntutan impian masa depan. Tak usah terburu, nikmati saja, bertualang menyikapi ego penyesalan atau pembelajaran, mengalir atau mengarungi, mengamati dan diamati. Persiapkan dan lakukan, toh kita akan bertemu domain waktu yang lebih kekal. 
  
Kereta melengking, roda besi bergesekan mengeluarkan suara beritme miris; berjalan perlahan mengikuti rel yang telah dituliskan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar