Dengarkan aku, Mendung. Kali ini kau tidak boleh ingkar. Seringkali kau
mengeruhkan matahari akhir-akhir ini. Bungaku sudah menunggu layu, bosan
menerima siraman. Sudah saatnya kau kemudian menghidupkan hujan, memunculkan
aroma petrichor yang sangat kami rindukan. Bungaku akan bergairah kembali
dengan menghirupnya.
Hanya,
bukan saja bungaku yang aku peduli. Kau tahu, Mendung, tentang malaikat yang suka
terbang rendah, dengan kepakan sayap cerah mewah? Sudah lama aku tak melihatnya.
Di beberapa kesempatan ia suka menghampiri bungaku. Hanya hinggap sebentar
kemudian pergi, kadang membuat penasaran kapan lagi
datang, terbang berputar berkejaran. Tahukah kau, Mendung, dulu ia hanyalah ulat buruk
yang melubangi daun. Tapi ia memenuhi janjinya untuk berubah. Tidak semudah
ketika engkau menjatuhkan hujan. Sempat ia bertapa, dihindari dunia. Diam
menggantung, berharap itu melunturkan ingatan kenangannya. Kau harus tahu,
mendung, kesunyian dan kesendirian tidak mematikannya. Hanya dengan sabar
menunggu, ia kemudian berubah. Ia belajar banyak dari waktu, dan masa
lalu.
Memang,
banyak orang yang tidak percaya ia telah berubah, Mendung. Bagaimana mungkin
ulat yang terlihat menggelikan menjadi makhluk yang mengesankan. Tapi itulah,
ia hadapi cibiran, ataupun pujian, dengan hanya terbang tidak menghiraukan.
Mempesona.
Aku tahu Mendung, sebidang ladang ataupun daun-daun kering di hutan bisa kau
segarkan dengan menjadi hujan. Tapi aku hanya punya bunga untuk kau selamatkan.
Oh, atau mungkin juga dengan sedikit lebih harapan untuk kita perhatikan;
menyambut kupu-kupu itu datang menghampiri, suatu saat, setelah hujan pertama di
bulan Oktober.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar