Saya terdiam di kursi kereta. Memandangi tiket yang saya pegang.
Memastikan duduk di nomor kursi yang tepat. Kemudian melenguh dan bersandar.
Kursi kali ini cukup empuk dibanding dudukanku di kereta sebelum - sebelumnya. Memang
dengan sengaja saya membeli tiket kelas kereta di atas biasanya. Bukan untuk
gaya-gaya. Saya hanya ingin menikmati perjalanan ini. Perjalanan kembali
Baik. Sedikit penjelasan mengenai ‘kembali’. Kereta ini akan membawa
saya pergi dari Bandung, kembali ke Jogja. Yang membuat tidak sederhana, saya
belum tau pasti kapan akan kembali ke Bandung. Tunas masalahnya hanya sepele
saja. Misal, setelah empat tahunan menghabiskan sebagian besar waktu di
Bandung, kontrakan habis, dan terusir. Pemilik kontrakan menjadi tokoh
antagonis yang memaksa saya minggat. Dikala saya merasa Bandung sudah menyamankan, saya pergi dengan perasaan tidak nyaman.
Setiap kepergian identik dengan perpisahan, bukan? Ada yang kembali
lagi, sebagian tidak. Ada yang sebentar, ada yang selamanya. Biasanya menggalaukan, tapi tidak jarang juga melegakan. Tapi saya pastikan, yang namanya
perpisahan akan memenuhi janjinya, hanya persoal waktu.
Malam di tengah pekan. Kereta tidak terlalu ramai dan kursi sebelahku
kosong. Sempurna pikirku. Saya sedang tidak ingin menyapa dan beramah tamah.
Rencana saya, cukup nanti kondektur menginterupsi dan saya bisa menikmati kereta
ini. Sendiri.
Berbicara
mengenai kereta, tetiba saja muncul ingatan pelajaran di masa sekolah. Dan
tetiba saja untuk kali pertama ini saya benci dengan Einstein. Atau hanya guru
fisika saya saja, yang selalu menggunakan kereta ketika pertamakali mengenalkan
konsep relativitas. Pengamat pertama pengamat kedua. Penjelasan mengenai
penghitungan kecepatan yang bergantung dari siapa mengamati apa atau siapa. Untung
saja Einstein memberikan jawaban dengan angka-angka. Yang penjelasannya
kira-kira,’dalam kasus itu tidak ada
benar atau salah; semuanya bisa berarti benar, atau salah; tergantung dari pihak
mana kamu mengamatinya’. Dampaknya di masa kini bagi saya sudah cukup
membingungkan. Relativitas sudah menjelma menjadi kata yang digunakan sebagai
penyamaran kebenaran. Tidak ada hitungan eksak untuk menjelaskan kebenaran. Lihatlah, segalanya dapat direlatifkan. Kontroversi
kontes kecantikan, pro-kontra pakai sepeda atau kendaraan mesin. Mau
merelatifkan Tuhan yang sama pun sekarang bisa saja. Benar salah sudah menjadi
ego dalam pikiran masing-masing. Tergantung sudut pandang siapa yang mengamati, katanya. Memang betul, amatilah, bahkan hobi baru manusia adalah membuat kontroversi dengan sensasi
ego pribadi.
Ego kadang menjadi lucu. Menjadi buta arogan dengan merasa paling benar. Padahal, pada saat tertentu,
ketika kamu sedang asik mengamati dan menghakimi, kamu sedang diamati dan
dihakimi. Pada saat kamu berpikir menjadi subjek yang berkuasa, kamu sekaligus sedang
memerankan tokoh objek yang dinilai.
Tentang
amat-mengamati, buku Supernova pertama (Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh) dari Dee Lestari juga berkisah mirip. Kisah tentang dua orang jenius, Dimas dan Reuben, yang ingin membuat novel
drama romantis berdasar kejeniusan dan luasnya wawasan ilmu sains yang dimiliki, dibumbui
dengan adu argumen antar mereka berdua yang mendalam. Mereka menulis tentang kisah cinta seorang
ksatria, bernama Ferre, yang berkisah kasih kepada seorang putri, Rana; Rana yang
dengan kejujuran hati menyambut cinta Ferre. Ironisnya, Rana sudah dalam ikatan
pernikahan dengan Arwin. Ferre, Rana, dan Arwin digambarkan sama-sama meminta
nasihat kepada seorang bijak yang hanya bisa ditemui di dunia maya, Supernova.
Siapa sangka kisah yang ditulis Dimas dan Reuben itu ternyata benar-benar ada
dalam kehidupan mereka. Dua orang jenius menemukan cerita yang sudah ada. Supernova yang benar-benar ada. Tokoh imaji yang dibuat
Dimas dan Reuben yang ternyata dapat mereka sapa. Bahkan, Ferre bertemu tatap muka dengan
sosok misterius penjawab setiap pertanyaan dan keluh kesah masalah, dengan nama Diva di dunia nyata, model dengan intelegensi di atas rata-rata yang secara
profesional menjadikan raga luarnya sebagai dagangan.
Sebagai
pembaca, saya agak lama terkesima di beberapa halaman, berusaha mengurai novel yang
ingin menyampaikan makna-makna seputar hidup, dengan membuat pembacanya
berpikir. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan, lantas adakah yang mengamati saya
ketika saya yakin benar bahwa saya tidak dapat diamati? adakah yang sedang menulis
cerita tentang saya sekarang? Atau saya hanya sedang melakukan apa yang telah
dituliskan; sampai dimana saya? sudah mendekati akhir halaman bukukah?
Oh bumi, saya akan malu kepada Penulis yang memunculkan saya sebagai
tokoh, jika cerita saya tidak menarik.
Dan setiap diri
kita sejatinya adalah pengelana. Menyusuri waktu. Jejak kita
di setapak waktu yang lalu akan selalu beradu, berkejaran dengan tuntutan impian masa
depan. Tak usah terburu, nikmati saja, bertualang menyikapi ego penyesalan atau
pembelajaran, mengalir atau mengarungi, mengamati dan diamati. Persiapkan dan lakukan, toh kita akan bertemu domain waktu yang lebih kekal.
Kereta melengking, roda besi bergesekan mengeluarkan suara beritme miris; berjalan perlahan mengikuti rel yang telah dituliskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar