Salman sendiri tidak menutup mata akan apa yang menimpa
keluarganya. Tidak serta merta pula Salman membenci dan mengutuki kakaknya. Jika
ada talenta yang mulai dikuasai Salman, permasalahan itu membuatnya pandai
bersyukur dan lihai menyembunyikan kesedihan. Satu-persatu mimpi-mimpinya yang
telah digantung tinggi kemudian sedikit diturunkannya. Ia menunda keinginannya
untuk melanjutkan studi pascasarjana, coretan ide-ide bisnisnya yang tentu
mengundang resiko pun diletakkannya di rak paling dalam. Mimpi-mimpinya menjadi
sedikit layu seperti daun–daun yang mulai menguning di ujung ranting, menunggu
jatuh diterpa angin. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat itu, bagaimana
caranya untuk dapat bertahan di perkuliahan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin
melepaskan masa kuliahnya yang sudah setengah jalan. Salman menyederhanakan impiannya;
bertahan di perkuliahan, mempersembahkan gelar sarjana, dan membuat orangtuanya
kembali menikmati masa tuanya. Lantas keluarga menjadi salah satu alasan Salman
untuk rela melakukan segalanya. Hidup serbaprihatin dan sederhana di rantau menjadi
makanan rutin Salman. Pertempuran-pertempuran harus dihadapinya bak seorang
pendekar sedang berjuang memperoleh ilmu untuk naik tingkat. Tanah rantau
selalu menawarkan banyak hal, beserta hal-hal baru dan pengalaman baru. Kampung
halaman yang dikenalinya menjadi godaan, mengajaknya menyerah pulang, menjalani
ilusi kemudahan dan kenyamanan. Boleh
jadi menjadi tuan di tanah sendiri, jangan harap lantas menjadi majikan di
tanah orang. Ia pegang kalimat masyhur HAMKA, Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah untuk
berjuang. Jikalau perahunya telah ia kayuh ke tengah, ia tak boleh bersurut
pulang. Meskipun bagaimana besar gelombang, biarkan kemudia patah, biarlah
layar robek. Itu lebih mulia baginya, daripada membalik halauan pulang. Salman
sudah terlanjur keluar perang, maka pantang baginya untuk pulang dengan kepala
tertunduk dan menyerah lemah. Salman berjuang, menerabas keputusasaan.
Dan kini, ketika gelar sarjana sudah dipersembahkan Salman kepada
keluarganya. Ia sudah jauh lebih tenang ketika pulang. Hanya jika ada hal yang
ia sesali, ia merasa sedikit terlambat menerjemahkan keadaan. Perkaranya tidak
berhenti sekedar bertahan di perkuliahan dan mempersembahkan gelar. Meskipun
keluarga Salman termasuk keluarga yang terbuka dalam berpendapat dan jauh dari
kesan kaku, Salman tidak pernah menanyakan mengenai persis detail jumlah hutang
dan musabab kebangkrutan bisnis kakaknya. Salman menghitung-hitung sendiri sisa
jumlah hutang, dan dengan kesadaran tekadnya, Salman berniat membantu kakaknya
dan mengembalikan senyum-senyum lepas orangtuanya. Satu lagi jalan terjal yang
harus dihadapinya adalah menebus rumah lamanya yang diagunkan di Bank. Pun
begitu, kakak Salman menyadari betul kesalahannya, kebangkrutan menjadi resiko
mahal yang menjadi pengalaman berharga. Enggan mengaku kalah, kakak Salman
perlahan bangkit menghidupkan bisnisnya kembali. Syukurlah, keuangan keluarga
Salman sudah jauh lebih membaik. Selama melewati masa-masa sulit, ada saja
jalan yang membuat keluarga Salman merasa tercukupkan. Salman menyadari, rasa
syukur kadang memang lebih mahal untuk dibeli. Bukan soal seberapa banyak harta yang bisa dinikmati, tapi seberapa
mampu jiwa ini merasa tercukupkan? Salman ingin menjadi kunci kebercukupan
keluarganya. Ia ingin memiliki pekerjaan yang mapan dan sedikit jauh dari
resiko spekulasi untung-rugi. Maka menemukan jalan yang tepat, kesusahan
mendapatkan, dan penantian kepastiannya, menjadi perkara lain yang musti
dihadapi Salman. Ia akan mencoba segalanya, berusaha sekuat tenaga, dan
berpasrah diri kepada yang memiliki rencana dan sebaik-baik penolong baginya.
Salman mulai menghidupkan kembali mesin mimpinya.
Begitulah Salman. Jika hidup tidak diciptakan
mudah baginya, ia hanya enggan untuk menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar