Rumah
keluarga besar Salman, yang dititipkan kepada keluarga Salman jauh dari kesan mewah.
Rumah sederhana yang menjadi bangunan terpisah dalam satu kompleks Masjid. Bahkan
bangunan rumahnya jauh lebih kecil dibandingkan bangunan Masjid. Kompleks
Masjid itu sendiri berada di tepi jalan raya, di daerah yang tidak terlalu
ramai, tidak bisa juga dibilang terlalu sepi. Dikelilingi sawah-sawah tertanam
padi, perkampungan warga baru terletak di seberang jalan raya. Kecuali sedikit
warga kampung yang rutin datang, Masjid itu lebih sering dikunjungi pendatang,
musafir yang mampir menunaikan sholat dan sekedar ngaso beristirahat. Jika berjalan
sedikit keluar kompleks, dapat ditemui taman kanan-kanak yang riuh ramai di
pagi hari, lapangan bola berlatar belakang bukit dan gunung yang kadang
digunakan pemuda sekitar di sore hari. Keluarga Salman berpindah ke tempat
dimana batas alam bumi dan langit nampak jelas belum tertutupi gedung-gedung
tinggi. Salman belum pernah merasa lebih kaya dari itu.
Selepas
lulus perkuliahan, Salman menikmati masa-masa kepulangannya. Sebagai anak terakhir, meskipun tidak dapat
lagi dibilang kekanakan, ia tidak lupa bagaimana caranya manja. Bercengkerama,
bercanda dengan ibu dan ayahnya. Mengantar ibunya berbelanja ke pasar hingga
mengunjungi nenek. Memijit ayahnya yang kelelahan, kadang mengumandangkan adzan
dan menggantikan menjadi imam sholat jika ayahnya sedang pergi. Sudah jelas bagi
Salman, kepulangannya adalah untuk berhijrah. Memberi nilai dari setiap apa
yang dijalani. Mencari amal dari ilmu yang didalami, mengilmui amal yang dirutini.
Salman menikmati lagi hal-hal yang tidak dirasakannya selama di rantau. Bukankah ia juga musafir yang perlu rehat,
istirahat melihat jejak tapak yang telah dilalui, mengatur nafas mengusap
keringat, menyiapkan bekal untuk menyambut perjalanan petualangan barunya.
Dan
yang jelas, Salman bukanlah termasuk orang yang menutup diri terhadap pergaulan.
Ia orang yang terbuka, terbiasa memilah sendiri mana yang baik dan kurang baik
untuknya. Namun begitu, sebaiknya jangan bertanya soal cinta masa muda Salman.
Ia cukup tahu soal konsep pacaran, tidak menjunjung tinggi ataupun menolaknya, tapi
agaknya Salman cukup bisa menafsirkankan jika takdir tidak menghendakinya
berlama-lama memadu kisah dengan konsep tersebut, selain hanya saat di sekolah
dasar dan sebulan di tingkat tiga smp, nasib tidak memberinya jalan lapang
untuk pacaran, entah malang entah menyelamatkan. Hal yang selalu terasa tidak mudah, menjaga diri dari fasa abu-abu, Salman
tidak ingin menjadikan hal serius menjadi main-main, main-main di hal yang
serius.
------------------------------------------------------------------------------
Telah Engkau hadirkan kepada hidupku wanita
yang cerdas, baik pekerti, lembut dan santun perangainya. Maka tidak sanggup
hati ini untuk tidak tertarik kepada dia yang sudah mempesona bahkan dengan
tanpa menatapnya. Namun mudah saja untuk merasa jika hina dina diriku ini
hanyalah akan mengurangi keberlebihannya, memburamkan keanggunannya. Dan hanya
kepada Engkau sahaya memohon ridho untuk menjadi pantas untuknya. Hanya kepada
Engkau, dan karena Engkau, sahaya menghadap untuk memperbaiki diri. Jikalau
tidak menjadi kehendak-Mu untuk menggetarkan hatinya karenaku, paling tidak
telah Engkau jadikan dia sebagai perantara bagi sahaya ini untuk semakin dekat
dengan-Mu. Maka semoga rela pula jika ternyata Engkau pilihkan lelaki yang
menaut hatinya, lelaki yang selayaknya bagi dia selain sahaya.
Dan teruntuk istriku yang kutunggu senyummu
setiap pagi. Di saat menulis surat ini engkau masih dalam benakku. Mungkin juga
saat ini sudah ada kemantapan hati untuk
condong memilihmu dibandingkan dia yang lain, aku mulai menyertakan namamu
dalam doaku. Sungguh banyak ikan di laut menjadi tidak menarik karenamu. Hanya,
maafkan aku jika akan terlambat datang kepadamu. Bukan, bukan ingin mengingkari
amalan melengkapi separuh agama kita yang mulia. Bukan pula karena diri ini
pengecut yang hanya mendamba tanpa berkata-kata, bukan. Kalaupun sudah
terkendali urusan ini, dan tepat pula waktunya, besok sore pun aku bisa datang
ke keluargamu. Melibatkanmu dalam kesusahan ini menjadi pertimbangan bagiku.
Biar kuhadapi ujian ini dahulu, membaktikan diriku kepada kedua orangtuaku,
mengembalikan senyum-seyum tenang mereka, lantas aku akan datang kepadamu.
Melibatkanmu dalam kesusahanku kali ini, meski aku mengharapkannya, akan menambah
tanggungan beban fikiranku. Aku tahu engkau sedang berjuang, akupun sedang
berjuang. Kita tunggu bara ini mereda. Doakan, semoga dimudahkan dan
memudahkan. Percayalah, beberapa tanjakan lagi, kaki ini sedang melangkah
terjal menuju kepadamu. Dan kau tahu, bunga yang mekar akan selalu menjadi
pengingat bagiku untuk memberikannya kepadamu..
------------------------------------------------------------------------------
Surat yang kemudian saya tahu, salah
satunya teruntuk kepada saya.
Yang diberikan satu setengah tahun kemudian dari
tanggal penulisannya.