Untuk pertamakalinya saya memiliki perut yang agak buncit. Tentu ada alasan dibalik buncitnya perut saya. Selain karena lagi jarang olahraga, juga disebabkan hobi tidur sehabis makan. Tapi postingan ini tentunya bukan membahas buncitnya perut saya. Buncitnya perut cuman menandakan besarnya nafsu makan saya waktu liburan ini, kemudian saya berusaha melampiaskannya ke kuliner-kuliner di jogja yang jarang ada di kota lain. Kebetulan sekali selain mendapat referensi dari temen-temen, saya juga nemu buku kuliner legendaris jogja berjudul ‘monggo mampir’ karangan syafaruddin murbawono yang dalam proses penulisannya dengan menyambangi tempat-tempat kulinernya langsung, jalan-jalan icip-icip ditemani butet kertaradjasa dan fotografer bernama bambang tri atmojo.
Ada alasan kenapa buku yang saya temukan ini menjadi menarik. Buku ini berisi tempat acuan kuliner yang sudah melegenda di jogja. Bukan hanya citarasanya, tapi juga karena sejarah, nostalgia, dan kekhas-an tempatnya. Setelah membaca buku ini, saya dapatkan kesimpulan bahwa mengudap kuliner jogja itu juga punya gaya, berbudaya. Misalnya, ketika gerai-gerai makanan modern berlomba-lomba adu cepat menyajikan masakan, beberapa kuliner khas jogja yang melegenda ini bahkan memaksa pelanggannya untuk antre berjam-jam. Untuk yang belum biasa, mereka pasti akan merasa menunggu ketidakpastian. Dalam falsafah jawa, ada sudut pandang optimis mengenai hal ini, nguler kambang, santai, yang sesungguhnya melatih seseorang untuk laku tirakat, menjalani apa yang ada. Nilai kesabaran dalam menunggu, kabeh mau ana titi wancine, semua ada saatnya, menggerutu dan bersungut-sungut tidak akan menyelesaikan persoalan. Benar bukan?
Saya pribadi kalo ke tempat kuliner ini pasti bersama teman-teman lama. Dengan begitu bagian menunggu lama tidak akan terasa, ngobrol ngalor-ngidul ga jelas juntrungnya bersama teman-teman. percaya sajalah jika hal ini sangat mengasyikkan, merefresh penat dan mengisi tenaga, salah satu cara berdamai untuk sejenak melepaskan beban hidup. Tentang sejarah? Wah jangan ditanya. Tempat kuliner di buku ini juga menyediakan cerita kenapa tempatnya disebut melegenda. Misalnya, bakpia yang kondhang sebagai jajanan khas jogja itu dipelopori oleh liem bok sieng, menempati rumah di daerah pathuk nomer 75. Ya, inilah cikal bakal bakpia 75 yang kemudian menjamur di jogja. Atau jajanan khas kotagede bikinan Mbah Mangun Irono, kipo, yang namanya berasal dari pembeli-pembeli saat bertanya nama makanannya, ‘iki opo?’
Tempat tempat legendaris ini juga meninggalkan cerita buat pembelinya. Sebagai tempat berdiskusi, icip-icip, mat-matan menghabiskan malam saat jaman muda, dan lain sebagainya, membuat kesan rindu yang memaksa untuk kembali lagi di lain hari. Menjadi ajang nostalgia atau bercerita ke anak cucunya. Begitu selanjutnya, dan selanjutnya. Tempat-tempat ini melegenda dari mulut ke mulut, dan hatti. Meskipun sudah ditangani oleh generasi berbeda, tempat kuliner ini masih menjadi tempat rujukan ketika liburan di jogja.
Buku ini merekomendasikan 96 tempat kuliner legendaris yang ada di jogja, mulai dari angkringan, gudeg, bakmi, baso, jamu, hingga jajanan dan tempat susur pasar. Buat yang takut kesasar, santai, buku ini juga menyediakan peta dan penjelasan, juga nomer telepon jika ingin memastikan buka atau tidaknya tempat kuliner ini.
Liburan kali ini saya baru mencoba dua dari yang direkomendasikan, Gudeg permata dan Bakmi jawa mbah mo. Nanti coba bikin postingan kesan ngiras di dua tempat ini. Buku ini juga dilengkapi foto-foto yang, menurut saya, keren. Fotografernya adalah lulusan jurusan fotografi ISI Yogyakarta, dan pernah mengadakan pameran fotografi tunggal di berbagai kota.
Ohya, ada kalimat pembuka yang cukup bikin saya berkesan, buat yang hobi kuliner dan merasakan masakan,
"Untuk kedua orangtuaku yang mengajariku bagaimana makan yang baik."
keren, temen-temen GF 2011 juga ternyata suka ke mbah mo lo mas :)
BalasHapus